Oleh: Nezar Patria

Bukan hanya teks, berita palsu kini disajikan secara audio visual dan menampilkan “kebenaran” dengan mengecoh persepsi, menipu indera, dan juga memelintir logika.

Tentu ini adalah perkara serius. Berita bohong telah dipakai untuk menggosok emosi, sentimen politik atau agama, yang lalu diterima tanpa kritik sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok orang. Dalam skala tertentu berita palsu sengaja diproduksi guna memperparah ujaran kebencian, memicu konflik sosial dan bahkan perang. Gejala ini, dan ihwal berita palsu menyebar dengan begitu meyakinkan, dikenal sebagai gejala “Post-Truth”.

Video Donald Trump menyerukanperang terhadap Korea Utara, atau foto tentang pembantaian Muslim Rohingya oleh pendeta Budha di Myanmar misalnya. Meskipun ada ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara, tapi Trump tampaknya belumlah segila itu membangkit kengerian orang akan perang nuklir yang bakal membuat seisi bumi pralaya. Atau ketegangan memburuk antara Muslim dan Budhis di Myanmar, tak serta merta berujung kepada pembantaian sesadis digemborkan foto palsu itu.

Ada karakter khas dari fake-news: Ia selalu menumpang pada fakta dari peristiwa yang melingkupinya. Distorsi atas fakta itu lalu membangun persepsi, seolah-olah memang ada peristiwa sesungguhnya, dan dikemas melalui olahan teknologi canggih. Rekayasa tak sebatas foto yang kini terasa ketinggalan dan kurang nancep bohongnya, namun lebih dahsyat lagi memakai manipulasi audio visual.

IMG 20221201 WA0002
Nezar Patria. Sumber foto: istimewa.

Seperti dilaporkan The Guardian akhir Juli lalu, teknologi terbaru dari aplikasi Face2Face yang dikembangkan oleh Universitas Stanford, gudangnya inovasi digital bagi industri di Silicon Valley, nyaris sempurna memanipulasi video pidato seorang tokoh dengan mengikuti gerak mulut dan suara si orang kedua. Lebih canggih lagi dua tahun lalu dilaporkan periset di Universitas Alabama di Birmingham, mampu melakukan impersonasi audio alias kloning suara seseorang hanya dalam hitungan menit.

Ketepatan vibrasi pita suara tiruan itu sangat mencengangkan. Dengan temuan itu, mereka dapat mengecoh suara biometrik seseorang untuk menjebol sistem keamanan digital tertentu, misalnya transaksi bank dan telepon seluler. Bisa dibayangkan bagaimana fake-news akan semakin digdaya dengan memadukan semua teknologi digital ini, bahkan dengan bantuan kecerdasan buatan, melakukan manipulasi fakta sampai batas yang belum pernah kita bayangkan.

Korban pertama kecanggihan manipulasi fakta ini tentu saja jurnalisme. Tugas inti jurnalisme, begitulah yang didengungkan oleh kode etik jurnalistik universal, adalah melaporkan fakta secara jujur dan penuh, tidak bohong dan setengah hati. Dengan merebaknya kemampuan fake-news hadir menyerupai fakta sebenarnya (factoid), apakah yang tersisa bagi kebenaran jurnalisme?

Tantangan terbesar jurnalisme kontemporer adalah bagaimana ia membersihkan kembali fakta dari selubung teknologi manipulatif. Namun di sisi lain, teknologi komunikasi telah memaksa kita merenungkan kembali pengertian tentang fakta dan juga kebenaran. Misalnya, jika fakta kita artikan sebagai sesuatu yang ada (das Sein) dan hadir secara alamiah, otentik, dan bebas dari interpretasi, maka memahaminya dalam lingkup era “Post-Truth” mungkin menjadi tugas besar, sesuatu yang melampaui jurnalisme, danmungkin masuk ke filsafat.

Tugas jurnalisme makin berat,karena kebenaran jurnal istik tampaknya kini tidak boleh berhenti pada lapis fakta permukaan, namun harus menggalinya lebih dalam. Ada pelajaran dari tayangan National Geographic beberapa waktu lalu, sebuah dokumenter yang menarik tentang ditemukannya DNA rusa dari bulu hewan yang menabrak badan sebuah pesawat militer di Florida, Amerika Serikat. Pilot mengkonfirmasi bahwa tak ada rusa di landasan, dan dia tak menabrak benda apapun di darat. Bukti ilmiah lainnya menunjukkan tabrakan terjadi di ketinggian

Jika jurnalisme berhenti pada fakta itu, bisa diperkirakan pertanyaan apa yang bakal merebak: benarkah ada rusa yang bisa terbang? Ia juga menggiring kepada banyak interpretasi yang nonilmiah, semacam imajinasi apakah pesawat itu telah menabrak kereta rusa Sinterklas yang melintas di angkasa pada hari itu? Anda bisa bayangkan sendiri fakta ini diolah oleh fake-news, dan bagaimana dia menjadi viral dan mengguncangkan bagi publik awam.