Pernikahan Dini Berdampak Gizi Buruk dan Stunting pada Anak
Oleh: Dokter Nanky Probo
PERNIKAHAN usia dini masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2021, angka pernikahan anak di bawah umur di Indonesia mencapai 238.000. Angka ini menunjukkan bahwa masih ada banyak anak-anak di Indonesia yang menikah di bawah umur, padahal pernikahan usia dini memiliki dampak yang negatif bagi kesehatan dan pendidikan anak, termasuk gizi buruk dan stunting.
Kepala Puskesmas Petaling Kecamatan Mendo Barat dr. Nanky Probo menyatakan perlu kesadaran dan perhatian serius dalam keluarga dan lingkungan masyarakat desa secara keseluruhan untuk mencegah pernikahan dini guna menghindari timbulnya permasalahan kesehatan di masyarakat.
Menurut dr. Nanky Probo, pernikahan dini didefinisikan sebagai pernikahan di bawah umur atau pernikahan yang dilakukan sebelum usia 18 tahun. Hal ini bisa terjadi karena faktor ekonomi, sosial, atau budaya.
Meski pernikahan dini seringkali mengakibatkan masalah dalam kesehatan reproduksi dan pendidikan anak serta sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka gizi buruk dan stunting pada anak-anak, namun hal itu masih banyak terjadi. “Penyababnya ya itu, factor ekonomi, sosial dan kebiasaan,” jelasnya.
Anak-anak yang menikah usia dini lebih rentan mengalami kehamilan yang bermasalah baik itu dalam menderita anemia, infeksi saluran kemih, hingga risiko tinggi terhadap kematian ibu saat melahirkan. Hal ini dikarenakan fisik anak yang belum siap mengalami proses kehamilan dan melahirkan. Bayi yang lahir dari pernikahan inipun rentan terhadap masalah kesehatan dan juga memiliki risiko kematian neonatal yang lebih tinggi.
Pernikahan usia dini juga memiliki pengaruh yang kuat pada gizi buruk dan stunting pada anak-anak. Anak-anak yang lahir dari ibu yang menikah di bawah usia 18 tahun, cenderung memiliki berat lahir yang lebih rendah dan lebih rentan mengalami stunting.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh yang ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih pendek dari usia normalnya, kekurangan vitamin A, kurang zat besi dan zat lainnya sehingga menyebabkan daya tahan tubuh lemah sehingga rentan terhadap berbagai penyakit
Menurut dr. Nanky Probo, upaya menunda pernikahan dini harus melibatkan keluarga dan masyarakat dan upaya yang bisa dilakukan meliputi:
1. Sosialisasi dan edukasi
Memulai sosialisasi dan edukasi tentang bahaya pernikahan dini dan dampak negatif yang ditimbulkannya akan membantu dalam menanamkan pemahaman yang baik tentang pernikahan dini kepada masyarakat luas terutama bagi orang tua. Diharapakan dengan adanya sosialisasi dan edukasi itu masyarakat terutama orang tua sadar akan bahaya dari pernikahan dini.
2. Pendidikan dan keterampilan
Dengan memberikan pendidikan dan keterampilan yang cukup, perempuan lebih memahami hak-hak mereka dan mampu meraih impian pada masa depan yang cerah. Hal ini akan membantu mereka tidak putus sekolah terlebih dahulu hanya untuk menikah sejak usia dini. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin menurunkan risiko pernikahan dini.
3. Pembentukan community-based support group
Pembentukan komunitas perempuan berbasis dukungan, dapat membantu memperkuat pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi, pendidikan, dan hak-hak mereka, sehingga dapat mengurangi kecenderungan menikah di usia muda. Komunitas seperti ini dapat membantu anak-anak untuk berkembang, terutama yang lahir dari ibu yang masih sangat muda.
Peran keluarga sangat penting dalam menunda pernikahan dini dan menangani dampak negatifnya. Keluarga harus memperhatikan kesejahteraan anak dan memperhatikan perekonomian mereka sehinggga anak tidak harus menikah di usia muda. Keterlibatan keluarga dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi tentang dampak pernikahan dini sangat membantu dalam membuka wawasan dan pemahaman bagi orang tua yang masih ragu dalam menunda pernikahan dini.
Selain keluarga, masyarakat juga harus turut serta memperkuat penanganan masalah pernikahan dini. Berbagai upaya seperti membuat program keterampilan kerja dan usaha mandiri bagi perempuan, dan mendorong pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pernikahan usia dini, dapat membantu menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia.
Namun sampai saat ini, kata dr. Nanky Probo, masih ada beberapa hambatan dalam upaya menunda pernikahan dini. Seperti tekanan sosial dan budaya, kurangnya akses pendidikan dan pekerjaan untuk perempuan, serta kemiskinan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang tepat untuk menangani hambatan tersebut.
Selain akses pendidikan gratis bagi anak-anak perempuan dan program keterampilan kerja sehingga perempuan bisa mandiri, mobilitas migrasi juga harus dibatasi oleh pemerintah yang kalau tidak dilakukan bisa mempegaruhi dan menyebabkan anak perempuan tergesa-gesa menikah.
Dapat disimpulkan bahwa peran masyarakat sangat penting dalam menyukseskan program menunda pernikahan dini. Dengan edukasi yang tepat, pembentukan komunitas berbasis dukungan, dan perlindungan hukum yang kuat, diharapkan angka pernikahan dini bisa turun dan anak-anak bisa terhindar dari risiko dampak negatif yang ditimbulkannya.
FOLLOW berita Suara Bahana lainnya di Google News
Tinggalkan Balasan