SUARABAHANA.COM — Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Bangka Selatan (Basel) Yopi Jamhar meminta oknum pengusaha untuk taat aturan.

Harapan Yopi ini terkait dengan pembukaan Kawasan Hutan Produksi secara besar-besaran di empat desa di wilayah Kabupaten Bangka Selatan untuk perkebunan sawit.

Kawasan Hutan Produksi yang bakal dibuka perkebunan sawit baru tersebut diantaranya berada di wilayah Desa Bencah, Tepus, Jeriji dan Kepoh.

IMG 20230318 WA0013
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Bangka Selatan (Basel) Yopi Jamhar. Foto: istimewa.

Aktivitas pembukaan lahan diduga dalam Kawasan Hutan Produksi untuk perkebunan sawit di Desa Bencah Kecamatan Airgegas beberapa waktu lalu bahkan sempat ricuh dan ditolak warga.

Berdasarkan penulusuran lebih jauh, kebun Sawit di Kawasan Hutan Desa Tepus oleh oknum pengusaha saat ini justru telah ada yang masuk usia panen. Sedangkan di Kawasan Hutan Produksi di Desa Bencah, Jeriji, dan Kepoh juga bakal ditanami sawit baru oleh oknum pengusaha.

Menurut Yopi, Pengusaha yang ingin memanfaatkan kawasan hutan untuk lahan perkebunan sawit harus memahami regulasi pemanfaatan kawasan hutan yang telah diatur oleh pemerintah.

“Jangan terkesan main kucing-kucingan, ikuti regulasinya. Kalau memang bisa dilakukan secara legal urus dong perijinannya agar negara dan daerah tidak dirugikan. Kan bisa menghasilkan pendapatan negara dan daerah,” kata Yopi Jamhar.

Dijelaskan Yopi Jamhar, pembukaan kebun sawit secara besar-besaran di kawasan hutan bisa mengancam ketersediaan lahan bagi petani lokal. Hal itu seharusnya menjadi perhatian serius pengusaha dan pemerintah.

“Kami justru lebih setuju jika kawasan hutan produksi tersebut dimanfaatkan oleh petani lokal secara berkelompok dengan mengikuti regulasi yang telah diatur oleh pemerintah,” tandas Yopi.

Sawit Bukan Tanaman Hutan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan, berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan.

“Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto di Jakarta, Senin (7/2/2022) seperti dikutip dari laman resmi https://www.menlhk.go.id.

Disampaikan Agus, dalam Permen LHK P.23/2021, sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Saat ini pemerintah lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah.

Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.

”Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,” terang Agus.

Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri.

Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.

Menurut Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), kata dia, juga telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit.

“Dalam peraturan ini juga diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara.” tambahnya.

Kata dia, untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi diperbolehkan satu daur selama 25 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.

‘Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan. UUCK juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan Kembali melalui jangka benah.

“Dengan begitu maka UUCK telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan. Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif  implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera,” tandas Agus.

 

Follow berita Suara Bahana lainnya di Google News