Oleh : Anthoni Ramli (Jurnalis Babel)

PENANGANAN pengusutan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) barang tentu seksi untuk disimak. Bisa jadi karena sebagian besar perkara korupsi menyeret level para pejabat. Apalagi kalah itu pejabat kelas kakap.

Tapi bukan tidak mungkin kalangan level kroco ikut bermain dan turut tersandung. Hanya saja ibarat kata, seribu berbanding satu.

Sebagian dari mereka terkadang sengaja dikorbankan dan dijadikan tumbal untuk menutup andil sang majikan atau pimpinan.

Hingga bukan rahasia umum ada istilah di Negeri ini hukum itu bisa, dipilah, dibeli, hingga disetir asal nominal dan bargaining cocok.

Bukan hal yang lumrah juga jika muncul istilah lain, hukum itu hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Bukan mustahil, istilah istilah ini muncul buntut dari kekecewaan dan keprihatinan atas rasa ketidakadilan di muka bumi.

Compress 20231108 105553 3306
Anthoni Ramli.

Belakang ini, ramai topik pembicaraan soal Surat Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi PT Pelindo Pangkalbalam, Pangkalpinang.

Sehingga penulis tergelitik mengilas balik pandangannya terhadap fenomena SP3 perkara tersebut.

Puncaknya, saat Kepala Kejaksaan Tinggi Babel, Asep Maryono, mengumbar soal SP3 kasus dugaan korupsi PT Pelindo Pangkalbalam, Pangkalpinang, baru-baru ini.

Secara bertubi tubi laman WhatsApp Group (WAG) banjir kiriman berita dan komentar soal kasus SP3 itu.

Kiriman tersebut datang dari sejumlah kalangan. Khususnya media, praktisi dan aktivis. Mereka seakan memberi kabar bahwa kasus yang tengah diusut Kejati Babel itu, tiba-tiba stop di tengah jalan.

Padahal tiga orang pejabat PT Pelindo, telah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Khawatirnya, langkah dan sikap semacam ini, bisa saja membuat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum kian terkikis.

Masih terngiang di benak penulis, bagaimana gamblangnya, Asep dan jajarannya mengumumkan nama-nama tersangka kasus dugaan korupsi jasa pandu dan tunda kapal Pelindo Pangkalbalam.

Tepatnya pada peringatan ke-63 Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) Jumat (21/7/2023) lalu. Tiga pejabat Pelindo Pangkalbalam, berisial NK, HP dan YP, sempat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang kerugian negaranya ditaksir kurang lebih senilai 4 miliar rupiah.

Penulis yakin mereka jauh lebih paham soal SOP dan aturan main penuntutan terhadap seorang tersangka, sebagaimana yang telah di atur dalam KUHAP.

Artinya tak perlu kita bahas secara rinci apa itu definisi penyelidikan dan penyidikan.

Singkat saja, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang sebuah tindak pidana.

Pastinya, SOP yang diterapkan penyidik dalam mengungkap sebuah kasus tak mungkin asal-asalan.

Namun bukan berarti penyidik tidak memiliki pandangan dan kewenangan untuk menghentikan penyidikan (SP3) sebuah perkara.

Sama halnya, wewenang itu juga diatur dalam undang-undang. Namun ibarat kata, lagi-lagi mungkin dari seribu kasus hanya satu.

Termasuk mengedepankan asas praduga tak bersalah terhadap setiap orang yang disangkakan senantiasa dijunjung.

Berkaca dari kasus diatas, bukti permulaan telah ditemukan penyidik. Dan itu tidak main main.

Bahkan hasil audit awal ditemukan adanya indikasi kerugian negara yang jumlahnya cukup fantastis, yakni kurang lebih 4 miliar rupiah.

Modus operandi dari dugaan mereka menilep, sengaja membiarkan kapal keluar masuk, sebagian kapal dipungut dan tidak terucap dari mulut Asep saat konfrensi pers pengumuman nama-nama tersangka.

Jadi wajar saja, langkah Kejati Babel menghentikan kasus tersebut lantas mengundang reaksi, spekulasi dan pertanyaan berbagai kalangan.

Bahkan jauh-jauh hari prediksi soal ciutnya nyali penyidik ketika berhadapan dengan BUMN sunter dipergunjingkan sejumlah kalangan. Baik praktisi, akademisi hingga ala Warung Kopi (Warkop).

Ibarat bujur sangkar, Asep dan
jajaran tiba tiba berubah 90 derajat.
tak lagi gamblang sebagaimana sewaktu konfrensi pers pengumuman para tersangka PT Pelindo.

Bahkan, hampir bisa dikatakan jadi kebiasaan tampil ketika penetapan dan pengumuman tersangka, minder saat SP3 sebuah perkara.

Karena rasa-rasanya belum pernah ada konfrensi pers untuk perkara yang di SP3. Padahal publik juga punya hak untuk mengetahui itu.

Alhasil pengusutan kasus sisa Hasil Pengelohan (SHP) timah yang dilakukan Kejagung RI di Bangka Selatan baru baru ini turut kena imbasnya.

Ada anggapan jangan-jangan penyelidikan perkara dugaan korupsi SHP PT Timah ini juga bernasib sama. Sama sama stop dengan alasan klasik, tidak adanya kerugian negara.

Stop, karena lagi-lagi berhadapan dengan tembok besar BUMN. Atau jangan-jangan hukum memang bisa dibeli mengutip dari pernyataan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, entahlah..!!!.

hukum berlaku hanya bagi orang-orang “apes” saja atau kurang beruntung dengan tidak memiliki pembela karena tidak memiliki uang.

Sedangkan, orang yang memiliki uang dan kekuatan politik bisa mempengaruhi keputusan hukum.

Kasus pelanggaran etik yang berujung pemberhentian jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, seakan membuka mata jika hukum itu bisa dikutak-katik, bisa di request tergantung pesanan dan Asal Bapak Senang (ABS).

Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.