Bagian 2: Mengenal Tenun Cual Bangka, dari Sejarah Sampai Proses Produksi
MEREKA menenun setelah mereka selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Tradisi itu menggambarkan bahwa penghuni rumah tersebut merupakan seorang putri yang rajin.
Sedangkan menurut cerita mendiang Cik Ibu seorang penenun, zaman silam dikenal dengan tradisi dimana tiap perempuan dipingit oleh orangtuanya. Untuk melengkapi kegiatan sehari-hari merekapun menenun.
Aktivitas menenun menghasilkan bunyi yang halus. Seseorang yang mendengar bunyi tersebut otomatis mengetahui bahwa di rumah tersebut ada penenun yang biasanya seorang putri.
Memiliki keahlian menenun kala itu membuat seseorang mendapatkan jodohnya. Dengan sendirinya keluarga dari pihak laki-laki akan datang untuk melamar setelah melakukan proses pengenalan.
Senada dengan cerita tersebut, Yan Megawandi SH. Msi. berpendapat bahwa pada zaman silam menenun merupakan proses pendewasaan dan kematangan bagi seorang perempuan sebelum ia menikah.
Penggunaan cual pun tak sembarang ada cara-cara tertentu. Dahulu seorang perempuan yang belum menikah diharuskan memakai selendang cual di bahu sebelah kiri dan kain dengan belah lipatan di sebelah kiri.
Sebaliknya seorang laki- laki yang belum menikah mengenakan kain dengan belah lipatan kain di sebelah kanan. Seorang perempuan yang telah menikah memakai selendang cual di bahu sebelah kanan dan kain dengan belah lipatan di sebelah kanan.
Sebaliknya seorang laki-laki yang telah menikah mengenakan kain dengan belah lipatan di sebelah kiri. Biasanya cual dikenakan saat perayaan hari besar Islam, sebagai busana pengantin dan hantaran serta busana kebesaran lingkungan bangsawan Muntok.
Pada masa kemimpinan Demang Abang Muhammad Ali kondisi perekonomian Muntok relatif stabil dan aman. Kala itu merupakan masa klimaks produktivitas tenun cual.
Tenun cual banyak diminati oleh berbagai kalangan sehingga diproduksi secara komersil dan menjadi bagian dari mata pencaharian penduduk Muntok.
Peminat tenun cual tidak hanya berasal dari Pulau Bangka Belitung saja tapi juga dari Sumatera Selatan, Pontianak, Singapura dan daerah berbudaya melayu lainnya.
Hal ini menyebabkan tenun cual menyebar ke kalangan luar bangsawan Muntok. Mereka berpendapat bahwa tenun cual patut dipunyai dan dikoleksi karena tekstur kain cual yang halus, kombinasi warna yang tak berubah dan bentuk motifnya yang seakan timbul. Ini memungkinkan cual dipelajari dan ditenun oleh daerah lain.
Tahun 1914-1918 terjadi perang besar melanda Eropa, yang turut berimbas pada kestabilan perekonomian dunia. Benang sutera, benang emas, dan bahan baku lainnya mengalami kenaikan harga dan kelangkaan.
Hampir tidak ada jualnya baik di Muntok maupun di Singapura. Produksi tenun cual terpaksa terhenti. Sedangkan kesulitan bahan baku juga dialami oleh beberapa daerah centra kerajinan tenun adat / tradisional lainnya seperti di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Malaysia.
Sementara itu sebagai alternatif, di Muntok beberapa orang penenun mencoba menggunakan bahan baku seadanya. Mereka mencabuti benang emas dari tenun cual yang telah rapuh, menggunakan benang katun dan serat nenas sebagai pengganti benang sutera untuk menenun.
Kondisi ini tidak berlangsung lama seiring perekonomian Muntok yang kian membaik. Masyarakat Muntok telah mengenal perkebunan lada dan karet serta Tambang Inkonvensional timah.
Pernah terjadi kebakaran besar melanda daerah Muntok di sebelah laut, bernama Kampung Bujan. Ratusan rumah penduduk musnah. Kebakaran ini turut menghanguskan puluhan peralatan dan tenun cual. Masuknya tekstil dari berbagai daerah menjadi pelengkap orang-orang Muntok tak lagi menenun cual.
Beberapa orang tertentu pemilik tenun cual menyimpan kainnya di dalam peti berukir. Tenun cual yang tersimpan di dalam peti berukir itu dikenal dengan istilah penunggu peti. Sementara itu orang-orang Muntok keturunan bangsawan mulai membawa tenun cual mereka menyebar ke beberapa daerah di sekitar Bangka Barat.
Bukti dari penyebaran tenun cual tersebut adalah dengan ditemukannya kembali tenun cual klasik sejak tahun 1950-an di beberapa daerah, seperti Tempilang, Nangka, Air Gegas, Ranges, Jade Sempan, Riding Panjang, Jelutung, Belitung dan Palembang. Sebagian tenun cual klasik tersebut masih disimpan di dalam peti berukir sebagai Pusake Lame oleh ahli warisnya.
2. Revitalisasi Produksi Tenun Cual di Pangkalpinang
Awalnya menenun cual merupakan aktivitas perempuan-perempuan keturunan Wan Abdul Haiyat di Muntok abad ke-18. Tahun 1914-1918 terjadi kelangkaan bahan baku cual sebagai akibat perang besar di Eropa. Produksi cual terpaksa terhenti.
Terjadi kebakaran besar yang pernah melanda Muntok turut menghanguskan puluhan peralatan dan tenun cual. Masuknya tekstil dari berbagai daerah menjadi pelengkap orang-orang Muntok tak lagi menenun cual.
Nasib cual berbeda dengan kain tenun daerah melayu lain misalnya ulos, pandaisingkek dan songket. Di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan masyarakat terus memproduksi tenun adat/tradisionalnya. Kreativitas setiap penenun pun menjadi suatu tuntutan. Selain mewarisi keahlian nenek moyang, menenun menjadi mata pencaharian.
Setelah hampir 80 tahun menghilang pada tahun 1990 tenun cual dirintis kembali oleh sepasang suami istri. Bermula dari pencaharian cual klasik di sekitar daerah Bangka Barat diantaranya Tempilang, Nangka, Air Gegas, Ranges. Ada pula yang ditemukan di Jade Sempan, Riding Panjang, Jelutung, Belitung dan Palembang.
Bermodalkan 15 potong cual klasik itulah sebagai pedoman Abi Yazid dan ibu Maslina memproduksi cual. Abi Yazid mulai mencelup benang dan ibu Maslina menenun bersama ke-4 anaknya yaitu Sinta, Santi, Seindi dan Sandra yang saat ini telah memiliki usaha tenun cual secara mandiri. (bersambung)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan