DI SUDUT KOTA yang bersolek megah dengan lampu-lampu jalan bergemerlap seperti parade bintang, berdirilah seorang jurnalis bernama Raka. Di tangannya, pena tajam yang dahulu mencetak kebenaran kini hanya menjadi aksesoris belaka. Raka bukan lagi suara rakyat; ia berubah menjadi corong penguasa yang korup, terhanyut dalam gelimang janji dan bujuk rayu.

Foto ilustrasi. Kredit foto: istimewa.

Raka pernah menulis dengan api keberanian. Namun, ketika sang Bupati, Darma Wijaya, datang membawa amplop tebal berisi lebih dari sekadar materi—janji kenaikan karier, nama besar, dan perlindungan—api itu padam. Kini, dia hanya mencatat berita yang dirancang sedemikian rupa untuk memuliakan Darma, si penguasa tirani yang berkamuflase bak pahlawan rakyat.

Berita itu harus mengguncang hati, bukan menyayat nurani,” ujar Raka pada dirinya sendiri suatu waktu. Ironi melingkupi, karena kalimat itu kini hanya menjadi mantra kosong yang dilantunkan di tengah pekik keserakahan.

Darma adalah seorang maestro pencitraan. Setiap sudut kota dihiasi baliho besar dengan wajahnya tersenyum bijak, ditemani slogan murahan: “Rakyat Bahagia, Bupati Berbakti.” Namun, rakyat bahagia itu hanya ada dalam dunia maya, dalam cerita yang ditulis Raka dan kroninya.

Pembangunan infrastruktur adalah tameng utama Darma. Jalan raya dicat ulang, dermaga dibangun setengah hati, sementara proyek besar lainnya disimpan rapi dalam daftar anggaran fiktif. Raka tahu, dia melihat laporan keuangan yang penuh rekayasa itu. Tapi apakah dia bertindak? Tidak.

Pada suatu malam, Raka menyaksikan jeritan seorang ibu di depan kantor bupati. “Kami lapar! Janji bantuanmu hanya angin kosong!” Sang ibu memeluk anak kecil yang terlihat lemah karena kelaparan. Raka, yang berdiri tak jauh dari sana, hanya mencatat satu kalimat dalam pikirannya: “Bukan berita yang menarik, hanya perusak citra.”

Malam itu, Raka kembali ke mejanya, menatap layar laptop yang memancarkan sinar biru dingin. Tulisan yang muncul bukanlah kisah sang ibu, melainkan liputan tentang “suksesnya program bantuan sembako” yang dicanangkan Darma.

Dia merasa perutnya mual, tapi bayangan tagihan kredit rumahnya membuat dia menekan tombol kirim. Berita palsu itu terbit di halaman depan esok hari, dengan judul: “Bupati Darma: Inspirasi Pemimpin Daerah.”

Di balik layar, Darma menghabiskan malamnya di pesta mewah dengan para pengusaha dan pejabat. Mereka bersulang untuk “kesuksesan” proyek yang sebenarnya hanyalah kedok untuk mengisi kantong mereka sendiri.

Raka sering diundang ke pesta-pesta itu. Gelas anggur di tangannya adalah simbol pengkhianatan pada idealisme yang dulu dia junjung tinggi. Musik orkestra di pesta tersebut menggema seperti ejekan terhadap rakyat yang hanya bisa menikmati kebisingan generator di malam yang gelap.

Suatu hari, seorang pemuda dari desa terpencil datang ke kantor Raka. “pak, tolong tulis cerita kami. lahan kami digusur untuk pembangunan yang tidak pernah selesai. kami kehilangan rumah!” Raka menatap pemuda itu, matanya kosong. “Maaf, ini bukan prioritas redaksi,” jawabnya dingin.

Namun, suara pemuda itu terus menghantui. Setiap malam, ia mendengar jeritan itu menggema di kepalanya. Tapi dia terlalu takut untuk melawan. Darma punya koneksi ke segala penjuru—pejabat, polisi, bahkan preman jalanan.

Kantor Raka semakin penuh dengan hadiah—jam tangan mahal, voucher liburan, hingga mobil baru. Semua itu diberikan oleh tim Darma sebagai bentuk “terima kasih” atas kontribusinya membentuk citra sang bupati.

Di tengah gemerlap hadiah itu, Raka teringat masa-masa awalnya menjadi jurnalis. Dia dulu adalah orang yang menulis dengan darah dan air mata, seorang pengabdi kebenaran yang tak gentar pada ancaman. Kini, dia hanyalah seorang narator kebohongan.

Ketika Darma memutuskan mencalonkan diri untuk periode kedua, Raka diberi tugas besar. “Kamu harus membuatku terlihat seperti dewa,” perintah Darma dengan nada meremehkan. Raka tersenyum getir, karena itulah yang selama ini dia lakukan.

Kampanye penuh janji manis bergulir. Di layar televisi, Darma tampil sebagai penyelamat daerah, menyeka air mata seorang nenek tua dalam video yang sebenarnya telah diatur sedemikian rupa. Raka tahu semua itu palsu, tapi dia tetap menulis naskah kampanye tanpa ragu.

Hari pemilihan tiba. Darma menang telak. Sorak-sorai kemenangan terdengar, sementara di sudut kota, para petani menggigil dalam kedinginan tanpa rumah yang dijanjikan.

Malam itu, Raka berdiri di balkon rumah mewahnya, menatap kota yang tenggelam dalam gelap, kecuali area kantor bupati yang dipenuhi lampu sorot megah. “Apakah ini harga dari kemewahan?” pikirnya. Tapi seperti biasa, dia mengalihkan pikirannya dan meneguk anggur merahnya.

Namun, karma bekerja dengan cara yang tak terduga. Sebuah investigasi besar dari jurnalis independen akhirnya membongkar korupsi besar Darma. Seluruh jejaknya, termasuk berita-berita palsu yang ditulis Raka, menjadi bukti.

Di ruang sidang, Darma dijatuhi hukuman penjara. Raka, meskipun tidak dihukum secara hukum, kehilangan kredibilitasnya. Tak ada yang mau membaca tulisannya lagi. Dia kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu, seorang penulis yang kehilangan suara, tenggelam dalam penyesalan yang tak berujung.

*Oleh: Martono (Redaktur Pelaksana suarabahana.com).